Awal ketertarikan saya pada ubi gajah, bermula dari keinginan untuk mencari tanaman sela bagi tanaman aren yang akan saya kembangkan di kebun mungil saya. Sebidang kebun yang luasnya cuma 10 rante alias 4.000 meter persegi.
Pohon aren varietas Dalam yang pertumbuhannya cukup lambat itu, tentu membutuhkan tanaman sela atau tumpang sari agar lahan optimal menghasilkan. Pilihan jatuh pada ubi gajah, karena tanaman ini lumayan toleran pada teduhan, umbinya enak dimakan, buahnya banyak (sampai 150 ton/ha), umurnya singkat, tak perlu di okulasi atau disambung, penyakitnya sedikit, mudah dibudidayakan, dan penanamannya tak menyita banyak waktu.
Namun kendalanya adalah sulit mendapatkan bibitnya. Ubi varian asli Kalimantan ini belum banyak dikembangkan di daerah kami. Yang banyak adalah jenis ubi begog, ubi trambesi, ubi lampung, ubi klanting, ubi malaysia, ubi ijo, ubi kuning, ubi tahun, ubi pulut dan masih banyak lagi.
Perburuan pun dimulai. Setelah dua malam mengobrak-abrik dunia maya, ketemulah dengan penjual bibit ubi gajah ini. Harga juga oke, cuma rp.500- rp.700/stek. Namun, lokasi penjual terlalu jauh. Ada di Kalimantan dan ada juga di Kediri. Jelas saja, ongkos kirimnya akan berkali lipat dibanding harga barangnya, sehingga tak ekonomis. Belum lagi biaya pos karantina di pelabuhan udara.
Handphone kemudian beraksi. Beberapa sohib dihubungi. Namun belum ada yang bisa memberikan titik terang. Bang Kadir Simbolon, seorang rekan sesama kameramen, malah menganjurkan budidaya ubi Darul Hidayah. Ubi jenis ini dikembangkan di Lampung oleh seorang kiai sebuah pesantren. Penjual bibitnya ada di daerah Bandar Tinggi, di sebuah pesantren milik Tuan Khalifah Rahmat.
Akhirnya, cara klasik pun ditempuh untuk berburu bibit ubi gajah ini. Sepeda motor pun dipacu menuju sebuah sentra penanaman ubi di Kampung Baru. Sesampai di lahan penanaman ubi yang terhampar luas itu, saya celingukan mencari salah satu petani yang mungkin bisa dijadikan benang merah. Tak terlalu lama, bertemu juga dengan Pak Ngatimin, yang sedang menyiangi tanaman ubinya.
Wawancara dengan pendekatan lokal pun saya lancarkan. Berkat penguasaan bahasa Jawa saya yang fasih, dengan senang hati Pak Ngatimin menghentikan aktifitasnya sejenak dan membeberkan ilmu menanam ubi yang ia kuasai. Ia mengaku dulu menanam ubi Lampung (tapi tak diketahui apakah varian Darul Hidayah atau bukan), dan sekarang menanam ubi malaysia. Jarak tanamnya sekitar 80×100 cm. Umur tanamannya saat ini baru lima bulan. Kami berdua lalu menggaru tanah dengan jari tangan untuk melihat umbi ubi malaysia itu yang sudah sebesar lengan orang dewasa itu.
Pak Ngatimin lalu memberitahu agar saya mendatangi rumah Pak Wadianto, seorang pengembang ubi gajah yang saya cari. Tempatnya juga tak terlalu jauh. Setelah pamit dan hatur nuwun, saya pun langsung tancap gas ke kediaman Pak Wadianto. Syukur, beliau ada di rumah.
Pak Wadianto yang sangat ramah itu sedang memecah buah kakao yang baru dipanen istrinya. Buah kakao yang besar-besar dan sehat itu, diambil dari pohon yang ditanam di pekarangannya. Dengan senang hati ia menunjukkan tanaman ubi gajah, ubi mukibat dan ubi Darul Hidayah yang ia kembangkan. Ubi mukibat (dikembangkan oleh Pak Mukibat) adalah varian ubi sambung (kopulasi), batang bawah ubi lokal dan batang atas ubi bunga atau ubi karet. Pak Wadianto menjual bibit ubi mukibat ini rp.2.000/stek kopulasian. Penjualan dengan sistim pesan sebelumnya. Selain dijual, bibit ini juga ia kembangkan kepada anggota kelompok tani Mekar Indah yang ia ketuai.
Ketika saya tanya tentang ketersediaan bibit ubi gajah, Pak Wadianto mengatakan bahwa ia belum memiliki persediaan dalam jumlah yang banyak. Paling cuma untuk penanaman satu atau dua rante saja.Ia sendiri masih berusaha mengembangkan varian ini. Dulu pada tahun 2010 ia langsung ke Kalimantan untuk mendapatkan bibit ubi raksasa ini. Saat itu ia hanya berhasil mendapatkan satu batang stek ubi sepanjang 30 cm. Stek itu lalu dipotong tiga, lalu ditanam di pekarangan rumahnya dengan perawatan ekstra ketat. Saat ini ia belum menjual turunannya, karena untuk ditanam sendiri saja ia masih kekurangan.
Pak Wadianto juga pernah mengembangkan ubi jenis Darul Hidayah, namun gagal. Hasilnya tidak sesuai dengan pertumbuhan pohonnya yang cukup besar tinggi. Saya dipersilahkan untuk mengambil bibit ubi jenis ini sesuka saya dari bekas cabutan ubi milik Pak Wadianto. Namun saya kurang berminat, karena saya tahu bibit ubi Darul Hidayah keturunan F3 nya memang sudah kurang produktif, apalagi ini, yang F4 atau keturunan ke empat. Ubi Darul Hidayah adalah pengembangan dari biji ubi sambungan. Atasannya dari ubi lokal, batang bawahnya dari ubi karet. Ubi dibiarkan menua hingga keluar bijinya. Biji ini (F1) yang ditanam, dan memang hasilnya sangat bagus. Tetapi turunannya tidak akan sebaik induknya. Beda dengan ubi gajah. Ia adalah varian asli, bukan hasil pemuliaan, hingga sampai turunan ke seratus pun, sifat aslinya masih melekat.
Saya lalu mengeluarkan jurus merayu, agar bisa mendapatkan bibit ubi idaman ini. Dengan bahasa Jawa Kromo Inggil yang halus dan sangat sopan, saya minta agar bapak tua ini mau menjual sedikit bibit ubi gajah miliknya kepada saya. Pak Wadianto yang sudah sepuh itu kelihatan terkesima, ia tak menyangka masih bisa mendengar bahasa asli asal kampungnya di Solo itu, dituturkan di daerah Medan dengan cukup ‘toto kromo’.
Alhamdulillah, Pak Wadianto menyanggupi memberi saya sedikit bibit ubi miliknya. Saya pun dibawa ke kebun belakang rumahnya. Pak Wadianto sendiri yang menggergaji batang ubi yang masih hidup di kebunnya. Pohon ubi yang punya batang dua tegakan, dipotong satu. Tak tanggung-tanggung, saya diberi sekitar seratus batang panjang sekitar semeter.
Tentu saja saya senang sekali. Ketika ditanya berapa saya harus membayar, Pak Wadianto menolak. Ia berkata : “Sampun, dibeto wangsul mawon mas, mboten usah diyotroni”. (sudah, dibawa pulang saja mas, tak usah dibayar).
Namun tentu saja saya harus membayar bibit itu, karena tak mungkin saya memanfaatkan kepolosan orang tua ini. Akhirnya setelah saya setengah memaksa, Pak Wadianto mau juga menerima uang pembayaran saya. Beliau juga mengatakan bahwa ia senang ada orang yang ikut mengembangkan ubi gajah ini.
Tulisan ini juga saya share di:
http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2013/11/04/berburu-bibit-singkong-gajah-605296.html
***
READY STOCK :
BIBIT AREN UMUR 16 BULAN, HARGA RP.10.000/BATANG, TINGGI 100 CM.
BIBIT AREN UMUR 10 BULAN TINGGI 60 CM HARGA RP.6.000/BATANG
BIBIT AREN RP. 4.000/POKOK, TINGGI 40 CM (UMUR 6 BULAN) .
KECAMBAH BIBIT AREN UMUR 2 BULAN ( UNTUK PENGIRIMAN JARAK JAUH ), HANYA RP. 1.500/POKOK.
BIJI AREN UNTUK BIBIT RP.600/BUTIR.
HP.0813 7000
8997. DENGAN MUHAMMAD ISNAINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar