Saat ini sudah ada beberapa
perusahaan produsen benih kelapa sawit yang meluncurkan bibit kelapa sawit
hasil perbanyakan lewat metode kultur
jaringan (in vitro). Bibit bukan lagi berupa kecambah, tetapi berupa bibit
kecil umur 3-4 bulan berdaun 3-4 helai (baby sawit).
Secara garis besar, berikut
proses pembuatan bibit sawit kultur jaringan.
Pucuk muda dari pohon indukan
terpilih – dipotong-potong, disterilkan lalu dibiakkan di dalam botol kaca
dengan media khusus (dalam laboratorium) – yang tumbuh lalu diperbanyak (dipotong-potong
lagi lalu dibiakkan) – aklimatisasi (adaptasi terhadap iklim)di ruang kaca
(green house) – masuk pre nursery (sudah dalam polibag kecil) – dijual (harga
variatif, antara 1.5 s/d 2 USD/batang).
Produsen benih sawit ini
mengklaim bahwa produksi tanaman sawit asal kultur jaringan ini lebih baik
daripada benih unggul konvensional (hasil persilangan). Mengenai kebenarannya,
jujur saja, penulis belum tahu.
Namun menurut beberapa literatur
yang pernah penulis baca, sebagaimana halnya tanaman hasil pembiakan vegetatif
lain, bibit hasil in vitro juga punya sedikit kelemahan. Diantaranya adalah :
-Akarnya kurang kuat.
-Lebih rentan terhadap penyakit
(kecuali yang hasil rekayasa genetika).
-Harga bibitnya lebih mahal.
-Pertumbuhan awal yang agak lambat, setelah itu normal.
-Penanganannya harus lebih hati-hati (tingkat kematian pada
setiap tahapan sedikit lebih tinggi).
Demikianlah secuil paparan tentang kelebihan dan kekurangan
bibit tanaman, khususnya sawit, asalan kultur jaringan alias in vitro. Bahasan ini masih bersifat sementara. Silahkan
pembaca lebih memperdalamnya.
-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar