Sabtu, 24 Mei 2014

Berkunjung ke Kebun Gaharu



Beberapa hari yang lalu, saya sempatkan singgah ke sebuah kebun gaharu di desa sebelah.

Pohon gaharu itu ditanam diselingi dengan tanaman kelapa sawit. Waktu saya datang, pohon gaharunya sedang berbuah muda. Beberapa biji yang belum cukup umur tampak berjatuhan di bawah.

Setelah berbincang-bincang dengan penjaga kebunnya, saya tahu bahwa umur pohon penghasil gaharu itu sudah 10 tahun lebih. Dan sudah 3 kali di inokulasi. Oleh para mahasiswa USU. Inokulasi yang pertama dan kedua gagal.

Oleh para mahasiswa USU, pernah beberapa kali dijanjikan akan di panen, tetapi dibatalkan. Janji terakhir, sehabis lebaran nanti akan dipanen tebang.

Gaharu yang ada di kebun ini adalah dari jenis aquilaria malaccensis. Pertumbuhannya lumayan bagus. Diameter batang 25-30 cm. Daunnya lebat dan tajuknya juga sehat.

Hanya saja, saya menduga inokulan yang disuntikkan kurang berhasil. Bisa dilihat dari kondisi pohon yang segar bugar.

Seharusnya, pohon gaharu yang sudah diinokulasi akan menjadi stres, bahkan ada yang sampai gugur daunnya. Lalu perlahan membaik, tapi tak boleh pulih semula.

Hal ini terjadi karena bahan dasar inokulan adalah jamur fusarium sp atau sejenisnya.

Jamur yang disuntikkan akan menyerang pohon, dan sebagai reaksinya, pohon akan mengeluarkan sejenis resin sebagai penangkal serangan jamur tadi. Resin yang dihasilkan inilah yang akan merubah batang kayu menjadi gaharu. Tandanya adalah kayu menjadi berwarna hitam/coklat tua dan berbau harum jika dibakar.

Pohon gaharu (agarwood) biasanya disuntik pada umur lima tahun, dan dipanen tebang pada umur 7-8 tahun. 

Proses inokulasi gaharu bukanlah perkara mudah. Selain inokulannya harus cocok dengan jenis pohonnya, sterilitas juga harus dijaga dengan baik selama proses dilakukan. Selain itu, kita harus mengantisipasi kemungkinan masuknya air hujan ke dalam lubang inokulan. Jika air masuk, maka kemungkinan batang kayu akan membusuk.

Kebanyakan petani gaharu menerima sistim bagi hasil dengan investor. Mulai bibit, pupuk, inokulasi serta pemanenan disediakan dan dilakukan oleh investor. Petani hanya menyediakan lahan, menjaga dan merawat tanaman itu.

Yang sering luput dari kajian perjanjian adalah : siapa yang menentukan harga. Jika yang menentukan harga jual juga adalah investor, maka kemungkinan investor menipu petani sangatlah besar. Karena memang, produk gaharu banyak sekali grade-nya, dan tak ada standarisasi. Selain itu, rentang harga perkilogram yang antara hanya 100.000 rupiah sampai ratusan juta rupiah, membuat kerjasama ini sangat riskan.

Apalagi saat ini, mencari pembeli gaharu juga bukanlah perkara mudah.

Ada banyak rekan yang menghubungi saya minta dijualkan gaharunya, namun pembeli tak kunjung ada.Kalau pun ada, sering terjadi gagalnya kesepakatan harga. Pernah ada penjual yang minta harga Rp.80 juta perkilogram, sementara pembeli hanya menawar tak lebih dari Rp.5 juta perkilogram.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar