Kamis, 11 Juni 2015

Kelebihan dan Kekurangan Bibit Sawit Kultur Jaringan

                                                       Foto MK IOPRI


Saat ini sudah ada beberapa perusahaan produsen benih kelapa sawit yang meluncurkan bibit kelapa sawit hasil perbanyakan lewat metode  kultur jaringan (in vitro). Bibit bukan lagi berupa kecambah, tetapi berupa bibit kecil umur 3-4 bulan berdaun 3-4 helai (baby sawit).
Secara garis besar, berikut proses pembuatan bibit sawit kultur jaringan.
Pucuk muda dari pohon indukan terpilih – dipotong-potong, disterilkan lalu dibiakkan di dalam botol kaca dengan media khusus (dalam laboratorium) – yang tumbuh lalu diperbanyak (dipotong-potong lagi lalu dibiakkan) – aklimatisasi (adaptasi terhadap iklim)di ruang kaca (green house) – masuk pre nursery (sudah dalam polibag kecil) – dijual (harga variatif, antara 1.5 s/d 2 USD/batang).
Produsen benih sawit ini mengklaim bahwa produksi tanaman sawit asal kultur jaringan ini lebih baik daripada benih unggul konvensional (hasil persilangan). Mengenai kebenarannya, jujur saja, penulis belum tahu.
Namun menurut beberapa literatur yang pernah penulis baca, sebagaimana halnya tanaman hasil pembiakan vegetatif lain, bibit hasil in vitro juga punya sedikit kelemahan. Diantaranya adalah :
-Akarnya kurang kuat.
-Lebih rentan terhadap penyakit (kecuali yang hasil rekayasa genetika).
-Harga bibitnya lebih mahal.
-Pertumbuhan awal yang agak lambat, setelah itu normal.
-Penanganannya harus lebih hati-hati (tingkat kematian pada setiap tahapan sedikit lebih tinggi).

Demikianlah secuil paparan tentang kelebihan dan kekurangan bibit tanaman, khususnya sawit, asalan kultur jaringan alias in vitro. Bahasan ini masih bersifat sementara. Silahkan pembaca lebih memperdalamnya.



-  




Tidak ada komentar:

Posting Komentar